Tuesday, December 27, 2011

Terimakasih, Coach.

Mereka adalah abang untukku, mereka adalah tempatku bercerita selagi aku terpaut jarak dengan orangtuaku.
Mereka tempatku berkeluh kesah ketika aku merasa tidak bisa melakukan apa yang mereka inginkan.
Mereka bukan pelatih sungguhan, namun aku selalu mendapatkan pelajaran dari setiap cacian mereka terhadap permainan burukku.
Aku selalu mengeluh, aku tidak bisa menjadi pemimpin yang baik di lapangan.
Mereka sekali lagi menepuk pundakku hangat, dan tersenyum. Lalu mengatakan, aku pasti bisa.

Aku menghadapi masa-masa sulita cedera ankle pertama kaliku bersama mereka, sebelum sebuah turnamen yang sudah aku tunggu semenjak setahun yang lalu.
12 hari turnamen itu dimulai, aku malah mendapatkan yang tidak seharusnya aku dapatkan.
Mereka bersikeras untuk tidak menurunkan aku dalam turnamen itu, aku pun marah.
Aku bertengkar, berdebat, dan menangis ketika mereka tetap kukuh dengan pendiriannya.
Aku berpikir bahwa mereka sungguh tidak memikirkan mimpiku.

Meleset! Semua pikiranku meleset! Mereka ternyata sangat sayang denganku.
Mereka masih menginginkanku untuk sembuh dan bisa bermain untuk turnamen yang lain, namun aku malah berpikir sebaliknya.
Maaf, aku.. Terlalu egois.
Akhirnya, dalam 12 hari aku bisa sembuh berkat keyakinanku dan tekadku untuk menunjukkan pada kalian semua bahwa aku bisa.

Sekarang, kalian semua sudah angkat kaki dari keluarga kecil ini. Walaupun angkat kaki bukan dalam arti yang sebenarnya.
Kami merasa kehilangan, namun itu adalah jalan terbaik untuk menempuh masa depan kalian.
Terimakasih, aku sayang kalian.
 
Header image by Flóra @ Flickr